Lemari dan Tari
“Hari ini pakai baju apa ya?” colek pikiran Tari.
Dia melirik baju pink berenda di dasar tumpukan. Mendadak pikirannya tersedot ke dimensi lain, bertahun-tahun yang lalu. 14 Februari.
Semua orang dapat coklat. Bentuknya beragam, kotak, hati, bebek, bunga pun ada. Heran, pintar betul toko-toko itu mengolah kokoa. Tari ingat kata Joko, produsen itu sengaja mendesain hari Valentine agar jualan mereka laku. Daripada coklat, aku punya yang lebih menarik.
“Apa yang luar biasa dari lukisan ini?”
“Kamu tidak bisa melihatnya? Itu namanya warna, Tari. Aku, aku percaya warna bisa mewakilkan apapun dengan baik. Emosi, pikiran, konsep, rasa, semua. Makanya, warna baju yang kita pakai bisa mempengaruhi mood.”
“Lalu apa artinya pink?”
“Baju yang kamu pakai itu? Dia berarti romantis, lembut, dan sensitif. Kebetulan sekali.”
“Kebetulan..?”
“Lihat ke balik jendela itu.”
“Kamu tidak bisa melihatnya? Itu namanya warna, Tari. Aku, aku percaya warna bisa mewakilkan apapun dengan baik. Emosi, pikiran, konsep, rasa, semua. Makanya, warna baju yang kita pakai bisa mempengaruhi mood.”
“Lalu apa artinya pink?”
“Baju yang kamu pakai itu? Dia berarti romantis, lembut, dan sensitif. Kebetulan sekali.”
“Kebetulan..?”
“Lihat ke balik jendela itu.”
Di sana sudah berdiri 8 anak. Masing-masing dengan tulisan huruf I, L, O, V, E, Y, O, U berwarna pink.
Tari berbalik dan mendapati Joko begitu dekat.
“Maksudnya?”
“Nggak ada. Aku cuma seniman yang ekspresif.”
“Nggak ada. Aku cuma seniman yang ekspresif.”
Tari berkedip, kembali sadar dari lorong waktunya sendiri. Dicarinya lagi warna yang lebih representatif hari ini. Hitam? Tidak.
Terakhir kemeja itu Tari pakai untuk duduk di sebelah Joko yang menangis. Pertama kalinya Tari melihat Joko begitu rapuh dan lemah, Joko yang biasanya selalu Tari andalkan. “Ibu yang mengurusku selama 20 tahun harus pulang duluan”, ujar Joko setiap kali ditanya.
“Hitam, Tari, kamu tahu, mewakilkan kesedihan dan kematian. Tapi, di saat yang bersamaan, dia memberi kamu keanggunan.”
“…kamu boleh menangis di pundakku, Joko. Tak perlu bicara.”
“…terima kasih.”
“…kamu boleh menangis di pundakku, Joko. Tak perlu bicara.”
“…terima kasih.”
Rasa nyeri Joko masih menempel di baju ini. Tak mungkin kupakai. Matanya kembali mencari, dan beradu dengan selembar kaus biru. Refleks, Tari tertawa kecil.
Berbulan-bulan sebelum dekat dengan Tari, Joko adalah mahasiswa baru yang pikirannya sesak dengan idealisme. Dengan kaus biru dan jaket abu, hari itu takdir mempertemukan mereka.
“Tari, sejak kapan kamu pindah jurusan?”
“Eh?”
“Itu, lambang di jaketmu. Kamu anak seni?”
“Bukan… Ini jaket orang lain! Astaga!”
“Eh?”
“Itu, lambang di jaketmu. Kamu anak seni?”
“Bukan… Ini jaket orang lain! Astaga!”
“MWAHAHAHAHAHA! JOKO SERUTNO TERNYATA KULIAH BISNIS! SIAPA YANG SANGKA!”
“Tunggu… Ini bukan jaketku. Santai kenapa sih. Apa salahnya juga kalau aku kuliah bisnis?”
“Mindset kamu yang nggak pernah mau ambil untuk dari apa pun, Jok, astaga…”
“Permisi. Ini. Jaket kita tertukar.” potong Tari.
“Ah, iya. Terima kasih. Pasti tadi salah ambil. Hmm unik ya.”
“Apanya?”
“Kaus kamu warnanya biru. Kausku juga. Dan jaket kita tertukar. Jodoh?”
“Lain kali deh.” Tari berbalik.
“Biru adalah warna kepercayaan dan kematangan berpikir!” Jauh, tapi Tari mendengarnya. Warna pertama yang dikenalkan Joko.
“Tunggu… Ini bukan jaketku. Santai kenapa sih. Apa salahnya juga kalau aku kuliah bisnis?”
“Mindset kamu yang nggak pernah mau ambil untuk dari apa pun, Jok, astaga…”
“Permisi. Ini. Jaket kita tertukar.” potong Tari.
“Ah, iya. Terima kasih. Pasti tadi salah ambil. Hmm unik ya.”
“Apanya?”
“Kaus kamu warnanya biru. Kausku juga. Dan jaket kita tertukar. Jodoh?”
“Lain kali deh.” Tari berbalik.
“Biru adalah warna kepercayaan dan kematangan berpikir!” Jauh, tapi Tari mendengarnya. Warna pertama yang dikenalkan Joko.
Beberapa saat kemudian, baru Tari tahu kalau Joko adalah ketua aksi ke gedung DPR hari itu. Dan biru selalu dipakai Joko dibalik jaket abu alma mater kami setiap ada kajian membela masyarakat.
Ah, Joko.
Traning jingga? Sudah lama tak Tari lihat dan pakai. Kalau tidak salah, terakhir ketika ulang tahun Joko.
“Temani aku olah raga.”
“Aku tak suka olah raga, dan kamu tahu lebih baik dari aku.”
“Nggak mau tahu, Tari, ini hariku. Cepat ganti baju.”
“Aku tak suka olah raga, dan kamu tahu lebih baik dari aku.”
“Nggak mau tahu, Tari, ini hariku. Cepat ganti baju.”
Argumennya cukup kuat. Sial.
Tiga puluh menit selanjutnya kami habiskan dengan berlari mengelilingi kompleks rumahku. Joko terlihat masih kuat bahkan untuk 10 putaran lagi, tapi aku sudah mencapai batasku.
“Sudahan yuk?”
“Capek ya? Oke. Tahan sedikit lagi, kita makan siang di depan sana. Jus-nya enak.”
“Capek ya? Oke. Tahan sedikit lagi, kita makan siang di depan sana. Jus-nya enak.”
Ingatan Tari langsung loncat ke bagian saat si pelayan membawakan dua gelas jus jeruk.
“Sebelum kamu mulai, pasti mau ceramah tentang warna jingga. Kan?”
Joko tersedak, tertawa kecil.
“Pintar! Jingga, Tari sayang, adalah warna dari semangat yang bergejolak. Vitamin C di jeruk juga gitu, bikin kalori kita lebih efektif dicerna dan dibuang!”
“Berisik. Nih, buka.”
“Kado? Asik.”
“…”
“Cat minyak? Merah, kuning, biru. Kenapa cuma tiga?”
“Karena aku nggak bego-bego amat. Aku tahu warna apa pun di dunia sumbernya ya tiga warna itu. Aku ingin kamu bisa bermain dengan warna-warna yang kamu sukai.”
Joko tersenyum.
“Terima kasih.”
Joko tersedak, tertawa kecil.
“Pintar! Jingga, Tari sayang, adalah warna dari semangat yang bergejolak. Vitamin C di jeruk juga gitu, bikin kalori kita lebih efektif dicerna dan dibuang!”
“Berisik. Nih, buka.”
“Kado? Asik.”
“…”
“Cat minyak? Merah, kuning, biru. Kenapa cuma tiga?”
“Karena aku nggak bego-bego amat. Aku tahu warna apa pun di dunia sumbernya ya tiga warna itu. Aku ingin kamu bisa bermain dengan warna-warna yang kamu sukai.”
Joko tersenyum.
“Terima kasih.”
Lima belas menit sudah Tari bengong sendiri di depan lemari. Putih! Kenapa dari tadi Tari tidak berpikir akan warna itu.
“Ma, kenapa lama banget?” suara kecil Merah Serutno memanggil.
“Tunggu, merah. Mama sedang ganti baju.
“Tunggu, merah. Mama sedang ganti baju.
Lalu Tari keluar dengan warna putih.
“Putih! Warna yang bersih, melambangkan…”
“Kesucian. Aku tahu, Pa.”
“Oke, ayo Merah, kita berangkat ke rumah Eyang!”
“Putih! Warna yang bersih, melambangkan…”
“Kesucian. Aku tahu, Pa.”
“Oke, ayo Merah, kita berangkat ke rumah Eyang!”
Warna-warna Joko kini menjelma dalam satu orang Tari. Semua warna, kecuali merah, yang diberikan pada anak mereka berdua.
Karena, menurut Joko, keberanian adalah awal dari semua kisah, dan keberanian juga yang sanggup mengakhirinya.
Hikmah yg dapat diambil dari prosa di atas, jangan melupakan nasihat – nasihat yang dapat membangun pribadi kita untuk menjadi orang yang lebih baik lagi. Seperti yang digambarkan oleh tokoh Joko melalui gambaran makna dari warna – warna yang dijelaskan kepada tokoh Tari hingga akhirnya tokoh Tari mejadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Sayangnya pada prosa diatas tidak menggambarkan dengan jelas karakter tokoh – tokohnya, hanya mengenang kejadian bertahun – tahun sebelumnya.
afutami.wordpress.com/2010/12/05/lemari-dan-tari/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar