Saya ingin menceritakan pengalaman yang pernah saya alami. Alasan saya menceritakan pengalaman ini karena pengalaman ini berkesan dan ada hikmah yang dapat dipetik dari pengalaman ini.
Suatu hari saya dan teman - teman saya hendak
memasuki rumah makan karena merasa lapar sejak pagi belum sarapan. Setelah
memesan makanan, seorang anak penjual kue datang, “kak, beli kue kak, masih
hangat kuenya!”
“Nggak dek, kita mau makan nasi saja,” kata salah
satu teman saya.
Sambil tersenyum si anak pun berlalu dan ternyata
menunggu di luar rumah makan.
Melihat saya dan teman saya telah selesai makan,
si anak menghampiri lagi dan menyodorkan kuenya. Kita sambil beranjak ke kasir
hendak membayar makanan berkata, “Nggak dek, saya sudah kenyang.” ucap saya.
Sambil mengikuti kita, si anak berkata, “Kuenya bisa
dibuat oleh-oleh pulang, kak.”
Salah satu teman saya memberinya dua lembar
ribuan dan ia memberikan ke anak penjual kue. “Kita udah kenyang. Uang ini
anggap aja sedekah dari saya.”
Dengan senang hati diterimanya uang itu. Lalu,
dia bergegas ke luar rumah makan, dan memberikan uang pemberian tadi kepada
pengemis yang berada di depan rumah makan.
Saya dan teman – teman saya memperhatikan dengan
seksama. kita merasa heran dan sedikit tersinggung. Lalu teman saya langsung
menegur, “Dek, kenapa uangnya kamu berikan kepada orang lain?”
“Maaf kak, jangan marah ya. Ibu saya bilang kalau
untuk mendapatkan uang dari usaha berjualan atas jerih payah sendiri, bukan
dari mengemis. Kue-kue ini dibuat oleh ibu saya sendiri dan ibu pasti kecewa, marah,
dan sedih, jika saya menerima uang dari kakak bukan hasil dari menjual kue.
Tadi kakak bilang, uang sedekah, maka uangnya saya berikan kepada pengemis
itu.”
Saya dan teman saya pun langsung tertegun dan
mengerti bahwa anak itu bukan bermaksud menolak daa sombong. Lalu masing –
masing dari kami pun berniat membeli kue dan memborong kue yang dijualnnya
Saat kita menyerahkan uang untuk membeli kuenya,
anak tersebut berkata “Terima kasih, kak. Ibu saya pasti senang sekali, hasil
kerja kerasnya dihargai dan itu sangat berarti bagi kehidupan kami.”
Pada
saat itu saya sadar bahwa anak penjual kue itu skaligus member pelajaran hidup
bagi siapapun.
Pertanyaanya adalah "Apakah kita mampu seperti itu?"
Anak penjual kue itu membuktikan walaupun mereka miskin harta, tetapi mereka kaya mental!
Menyikapi kemiskinan bukan dengan mengemis dan minta belas kasihan dari orang
lain. Tapi dengan bekerja keras, jujur, dan membanting tulang. Jika setiap
manusia mau melatih dan mengembangkan kekayaan mental di dalam menjalani
kehidupan ini, lambat atau cepat kekayaan mental yang telah kita miliki itu
akan menjadi karakter. Pengalaman tersebut sangat berkesan bagi saya karena
jarang saya menemui kejadian seperti itu dan hikmahnya pun tak kalah penting sebagai
pelajaran hidup saat ini.
Terima Kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar